- Back to Home »
- Sepenggal-Kisah »
- Kisah Cinta Sang Proklamator
Monday, April 30, 2012
Kisah Cinta Bung Karno dan Fatmawati
diadaptasi dari http://penasoekarno.wordpress.com
Jalinan cinta antara Bung Karno dan
Fatmawti pada awalnya membutuhkan perjuangan yang sangat berat. Demi
memperoleh Fatmawati yang begitu dicintanya Bung Karno dengan perasaan
yang sangat berat terpaksa harus merelakan kepergian Inggit. Sosok
wanita yang begitu tegar dan tulusnya mendampingi Bung Karno dalam
perjuangan mencapai Indonesia Merdeka. Pahit getir sebagai orang buangan
(tahanan Belanda) sering dilalui Bung Karno bersama Inggit. Namun
sejarah berkata lain. Kehadiran Fatmawati diantara Bung Karno dan Inggit
telah merubah segalanya.
Tapi benarkah Fatmawati merupakan pelabuhan cinta terakhir Bung Karno ?
Perjalanan sepasang merpati penuh cinta
ini, akhirnya dikaruniai lima orang putra-putri: Guntur, Mega, Rachma,
Sukma, dan Guruh. Belum genap mereka mengarungi bahtera rumah tangga,
Sukarno tak kuasa menahan gejolak cintanya kepada wanita lain bernama
Hartini. Inilah pangkal sebab terjadinya perpisahan yang dramatis antara
Sukarno dan Fatmawati.
Bagaimana Bung Karno menjelaskan ihwal
perpisahan itu? Adalah sebuah misteri, sampai ketika salah seorang
ajudan dekatnya, Bambang Widjanarko, pada suatu sore di tahun 1962,
memberanikan diri mempertanyakan hal itu. Bambang adalah salah satu
ajudan yang diketahui sangat dekat hubungannya dengan putra-putri
Presiden. Demi melihat hubungan anak-anak dengan ayahnya, tanpa seorang
ibu di antara mereka, Bambang sering merasa nelangsa.
“Ada apa Mbang,” Bung Karno bertanya.
“Mohon Bapak jangan marah, saya ingin membicarakan adik-adik tercinta, putra-putri Bapak.”
“Ya, Mbang, ada apa dengan anak-anak?”
“Begini Pak, sudah dua tahun saya menjadi
ajudan Bapak. Setiap hari saya melihat dan bergaul dengan putra-putri
Bapak, saya juga amat menyayangi dan mencintai mereka. Mungkin segala
keperluan lahiriah sudah cukup mereka peroleh, tapi menurut saya ada
sesuatu yang amat mereka butuhkan, mereka dambakan siang-malam, yakni
adanya seorang ibu yang mendampingi dan mengasihi mereka siang-malam.
Karena itu, bila Bapak berkenan demi kebahagiaan anak-anak, apakah tidak
lebih baik bila Bapak meminta Ibu Fat kembali ke Istana?
Wajah Bung Karno seketika berubah menjadi
kelam, dan matanya tajam menatap Bambang, ajudannya. Tentu saja, hal
itu membuat Bambang kecut, campur aduk antara takut dan menyesal telah
lancang mencampuri urusan rumah tangga Bung Karno. Rumah tangga
Presiden, Panglima Tertinggi, Pemimpin Besar Revolusi.
Yang terjadi selanjutnya adalah, Bung
Karno diam barang semenit-dua. Setelah itu, senyum tipis tersungging di
bibir Bung Karno seraya berkata, “Bambang, jangan takut, aku tidak marah
kepadamu. Mari duduk, akan aku ceritakan kepadamu.”
Dengan kaki lemas dan menahan malu,
Bambang akhirnya duduk mendengar uraian Bung Karno….. “Mbang, pertama
percayalah bahwa aku tidak marah kepadamu. Aku mengerti betul maksudmu
didasari kehendak baik demi anak-anakku sendiri yang juga kau sayangi.
Engkau seorang muda yang penuh idealisme dan selalu berusaha mencapai
itu menurut norma-norma yang kau pelajari dan kau ketahui. Itu baik,
tetap mungkin masih banyak juga yang belum kau mengerti.”
“Bambang… menurut hukum agama Islam,
seorang istri mempunyai kewajiban antara lain harus mengikuti suami dan
berada di rumah suami. Istana Merdeka ini adalah rumahku, aku tidak
mempunyai rumah lain, dan aku tidak pernah mengusir Ibu Fat dari Istana
ini. Ibu Fat sendiri yang pergi meninggalkan rumahku, rumah suaminya.
Aku juga tidak pernah melarang Ibu Fat untuk datang atau kembali ke
sini, atau melarang menengok serta berada dengan anak-anak. Ibu Fat
bebas untuk datang dan berada di Istana ini…. Mbang…, adalah kurang
tepat bila aku meminta Ibu Fat untuk kembali, aku tidak pernah
mengusirnya.”
Selanjutnya, Bung Karno juga menceritakan
saat-saat indah mereka di Bengkulu, zaman penjajahan Jepang. Juga
saat-saat kebersamaan di Yogyakarta, dan sebagainya. Banyak hal yang
telah terjadi di antara keduanya, dan itu menyadarkan siapa pun tentang
betapa kompleksnya kehidupan manusia. Dan itu semua makin membuat
Bambang tertunduk makin dalam. Ia merasa malu telah berani memberi
nasihat Bung Karno tanpa berpikir panjang.
Akhirnya, BK menutp uraiannya dengan
berkata, “Bambang, biarlah orang-orang, termasuk anak-anakku,
menyalahkan diriku; aku toh seorang laki-laki. Tetapi anak-anakku wajib
mencintai dan terus menghormati serta menghargai ibunya. Semua kesalahan
biar ada padaku. Dan, Bambang, terima kasih atas perhatianmu pada
anak-anakku. Merskipun bukan merupakan tugas pokok, tolong… turutlah
juga mengawasi anak-anakku itu.”
Mendengar uraian penutup Bung Karno, tak
terasa air mata mengalir pelan di pipi Bambang Widjanarko. Seketika,
Bambang berdiri, memberi hormat dan meninggalkan Bung Karno sendiri
dalam kamarnya. Sejak itu, hati kecilnya bersumpah, ia tidak akan pernah
lagi mencampuri urusan rumah tangga Bung Karno.