- Back to Home »
- Sebuah-Catatan »
- Menjadi Seorang Penulis
Tuesday, May 01, 2012
Kenapa esai astronomi Stephen Hawking
("A Brief History of Time"), observasi antropologis Oscar Lewis
("Children of Sanchez") dan skripsi Soe Hok Gie tentang Pemberontakan
Madiun ("Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan") bisa kita nikmati
seperti sebuah novel? Kenapa tulisan manajemen Bondan Winarno
("Kiat") dan artikel kedokteran-psikologi Faisal Baraas ("Beranda
Kita") bisa dinikmati seperti cerpen?
Untuk mencapai ketrampilan penulis
semacam itu diperlukan sejumlah prasyarat dan sikap mental tertentu:
Keingintahuan!dan!Ketekunan:
Sebelum memikat keingintahuan pembaca,
mereka harus terlebih dulu "memelihara" keingintahuannya sendiri akan
sesuatu masalah. Mereka melakukan riset, membaca referensi di perpustakaan,
mengamati di lapangan bahkan jika perlu melakukan eksperimen di laboratorium
untuk bisa benar-benar menguasai tema yang akan mereka tulis. Mereka tak puas
hanya mengetahui hal-hal di permukaan, mereka tekun menggali. Sebab, jika mereka
tidak benar-benar paham tentang tema yang ditulis, bagaimana mereka bisa
membaginya kepada pembaca?
Kesediaan!untuk!berbagi:
Mereka tak puas hanya menulis untuk
kalangan sendiri yang terbatas atau hanya untuk pembaca tertentu saja. Mereka
akan sesedikit mungkin memakai istilah teknis atau jargon yang khas pada
bidangnya; mereka menggantikannnya dengan anekdot, narasi, metafora yang
bersifat lebih universal sehingga tulisannya bisa dinikmati khalayak lebih
luas. Mereka tidak
percaya bahwa tulisan yang
"rumit" dan sulit dibaca adalah tulisan yang lebih bergengsi. Mereka
cenderung memanfaatkan struktur tulisan sederhana, seringkas mungkin, untuk
memudahkan pembaca menelan tulisan.
Kepekaan!dan!Keterlibatan:
Bagaimana bisa menulis masalah
kemiskinan jika Anda tak pernah bergaul lebih intens dengan kehidupan
gelandangan, pengamen jalanan, nelayan dan penjual sayur di pasar?
Seorang Soe Hok Gie mungkin takkan bisa
menulis skripsi yang "sastrawi" jika dia bukan seorang pendaki gunung
yang akrab dengan alam dan suka merenungkan berbagai kejadian (dia meninggal di
Gunung Semeru). Menulis catatan harian serta membuat sketsa dengan gambar
tangan maupun tulisan seraya kita bergaul dengan alam dan lingkungan sosial
yang
beragam mengasah kepekaan kita. Kepekaan
terhadap ironi, terhadap tragedi, humor dan berbagai aspek kemanusiaan pada
umumnya. Sastra (novel dan cerpen) kita baca bukan karena susunan katanya yang
indah melainkan karena dia mengusung nilai-nilai kemanusiaan.
Kekayaan!Bahan!(resourcefulness):
Meski meminati bidang yang spesifik,
penulis esai yang piawai umumnya bukan penulis yang "berkacamata
kuda". Dia membaca dan melihat apasaja. Hanya dengan itu dia bisa membawa
tema tulisannya kepada pembaca yang lebih luas. Dia membaca apa saja (dari
komik sampai filsafat), menonton film (dari India sampai Hollywood), mendengar
musik (dari dangdut sampai klasik). Dia bukan orang yang tahu semua hal, tapi
dia tak sulit harus mencari bahan yang diperlukannya: di perpustakaan mana, di
buku apa, di situs
internet mana.
Kemampuan!Sang!Pendongeng!(storyteller):
Cara berkhotbah yang baik adalah tidak
berkhotbah. Persuasi yang berhasil umumnya disampaikan tanpa pretensi
menggurui. Pesan disampaikan melalui anekdot, alegori, metafora, narasi, dialog
seperti layaknya dalam pertunjukan wayang kulit. !
Sumber: Diolah dari nara sumber Farid
Gaban.